Menemani suami Residensi, pakai visa apa?

Lohaaaaa, Assalamu'alaikum...
Sudah beberapa hari sejak blog pertama baru mau nulis lagi hehehe..

Kali ini, saya mau berbagi pengalaman ketika saya mengurus visa untuk kepergian kami ke Belanda.

Sedikit flashback, waktu itu malam 17 Agustus, di perumahan kami ada malam tirakatan. Saya sedang meriang sehingga absen, namun suami datang, sekalian memutarkan beberapa film kemerdekaan. Sampai jam 11 malam saya tunggu, rupanya suami terlalu betah sehingga tak pulang-pulang. Naluri manjapun keluar, ndak bisa tidur sendirian hahaiii. Saya berulang kali mengirim pesan agar suami segera pulang, namun hanya jawaban "Ya, sebentar lagi," yang saya dapatkan.

Sampai akhirnya tengah malam, sudah masuk tanggal 17 Agustus, masuklah chat di hp saya, muncul nama suami. Saya buka, ternyata isinya pengumuman hasil program Residensi yang dia ikuti beberapa hari silam. Alhamdulillah, dia lolos ke Leiden, artinya, bulan Oktober ini dia pergi ke Belanda, bersama mimpi-mimpinya. Saya turut deg-deg an, tak sabar menunggu dia pulang agar dapat memberi selamat secara langsung. Ketika sudah pulang, kami sama-sama mengecek lagi, benarkah pengumuman itu, dan ternyata benar. Alhamdulillaaah, menjadi kado terindah di satu dekade hubungan kami (sejak pacaran pada 18 Agustus 2009), karena saya berencana ikut serta ke Leiden. Iyalah, kapan lagiii ya kaan...

Selanjutnya, setelah kabar kepastian pengumuman tersebut, kami mulai browsing, mencari tahu apa yang perlu dipersiapkan untuk kepergian kami. Saya pun mulai mencari tahu kenalan yang pernah tinggal di Eropa, dan ketemulah, om saya pernah tinggal di Belgia, tetangga Belanda. Saya bertanya tentang estimasi biaya hidup disana, pesawatnya apa, sampai persiapan yang perlu saya pikirkan, lalu saya catat. Saya pun ada teman yang sedang berada di Kanada untuk menemani suaminya studi di sana, ternyata suaminya malah pernah mengenyam pendidikan di Leiden. Wah, pas, kebetulan sekali..

Beberapa info sudah terkumpul, maka mulailah persiapan. Yang pertama dipikirkan adalah visa. Saya mulai baca-baca artikel, mencari tahu visa apa yang cocok untuk saya, karena suami sudah menggunakan visa short study. Pilihan saya jatuh pada visa tourist atau visa visiting family or friends. Saya cermati syarat-syaratnya. Syarat pertama paspor, alhamdulillah paspor saya sudah jadi (meski membuatnya mepet). Kemudian foto (saya foto di Duta Indah di kawasan Simpang lima Semarang), itinerary (saya samakan dengan suami), asuransi (saya pilih axa smart traveller gold), rekening koran 3 bulan, surat sponsor dan garansi (dalam hal ini kakak saya yang mensponsori dana kepergian saya), KK, KTP, Akta Kelahiran (berbahasa Inggris, saya translate sendiri liat contoh dari Google), bukti booking tiket pesawat, serta bukti akomodasi. Syarat lengkap bisa cek di website VFS Global yah, selaku pihak ketiga yang ditunjuk Kedutaan Besar Belanda untuk pendaftaran visa.

Untuk akomodasi, saya dan suami sama-sama mencari. Dia dikenalkan dengan seorang mahasiswa program PhD di Leiden University, yang kemudian merekomendasikan akomodasi di tempat Teh Tuti, orang Bandung yang menikah dengan orang Belanda dan kemudian menetap di pulau kecil di Leiden. Sedangkan saya sendiri mencari kenalan lewat facebook, pada kolom pencarian saya ketik Leiden, kemudian ketemulah dengan beberapa mahasiswa PhD yang tinggal di Leiden.

Saya kirim pesan ke beberapa mahasiswa tersebut, kemudian pencarian saya terhenti pada salah seorang istri PhD yang rumahnya disewakan, dan kosong pada bulan November. Bersamaan dengan itu, suami saya berkomunikasi dengan teh Tuti dan tempatnya memang kosong. Karena kami berdua sama-sama mendapatkan akomodasi, kami putuskan untuk menyewa di kedua tempat tersebut. Bulan pertama (pertengahan Oktober sampai pertengahan November) di tempat Teh Tuti, lalu bulan kedua (pertengahan November sampai pertengahan Desember) di tempat PhD tadi.

Urusan penginapan kami anggap sudah clear, namun kami perlu Letter of Accomodation (berdasarkan pengalaman teman yang sudah pernah Residensi di Belanda). Karena suami sudah banyak urusan dengan perkuliahan dan jadwal mengajar, maka urusan akomodasi ini saya yang mengurus, jadi saya meminta LoA kepada istri mahasiswa PhD tersebut, berisi keterangan kami akan tinggal bersama mereka selama dua bulan (agar jadi satu administrasi tempat tinggal kami). Karena menggunakan alamat mereka untuk pengurusan visa (LoA berisi tinggal dua bulan meski kenyataannya kami akan tinggal 1 bulan disana), maka beliau meminta DP sebagai tanda keseriusan saya menyewa, sebesar €150, atau sekitar 2,3 juta rupiah. Saya pun setuju, saya positif thinking saja, saya pikir dengan LoA tersebut, syarat visa saya sudah aman, maka dari itu langsung saya transfer, meski dibilang DP akan hangus jika saya tidak jadi menyewa disana. Daaann, that's my fault. Seharusnya saya tidak langsung setuju begitu saja, karena ternyata praktik meminta DP di awal tidak dibenarkan. Apalagi visa belum tentu acc kan. Namun lagi-lagi, saya tidak tau mengenai info demikian, dan juga tidak kepikiran. Saya pun tidak meminta bukti sewa dan lain-lain. Sudah, begitu DP sudah saya transfer, maka beliau mengirimkan LoA yang kami butuhkan via email. Perasaan kami waktu itu lega, akomodasi, clear.

Beberapa persiapan lain sudah kami siapkan, dan tiba waktunya kami daftar apply visa lewat online sekitar dua minggu sebelum berangkat. Eits, jangan suudzon dulu, kenapa kami menunggu 2 minggu sebelum keberangkatan baru mengurus visa? Ini karena suami masih menunggu kelengkapan surat dari panitia, dan sangat mepet. Jadi ketika semua berkas sudah lengkap, baru kami putuskan apply, begituu... 

O ya, untuk keputusan jenis visa, saya pilih visa turis, dengan perkiraan isi rekening 1 juta per hari, tinggal dikalikan berapa hari mau di Belanda. Saya pikir dana segitu aman, sehingga tidak akan dikira jadi gembel hehehee. Saya melampirkan rekening koran kakak saya (yang gendutnya tidak dadakan), dan rekening koran saya (mendadak gendut sebulan sebelum berangkat 😁)

Balik lagi ketika saya mengantri, ternyata kami mendapat jadwal tanggal 1 Oktober (14 hari sebelum kami berangkat pada 15 Oktober). Karena sangat mepet, maka kami cari alternatif lain agar bisa segera apply. Saya telpon ke VFS, meminta pilihan lain, yaitu VIP Premium Lounge, yang mana ketika saya telpon dan meminta jadwal besoknya, ternyata bisa. Deal, saya minta VIP PL tersebut, dengan biaya tambahan 900.000 rupiah per orang, diluar biaya jasa VFS itu sendiri.

Penampakan VIP Room, disediain minuman dan snack

Tidak apa-apa, yang penting berkas segera masuk. Waktu itu hari Kamis, posisi saya dan suami masih di Jogja. Kami segera pesan tiket kereta api menuju Jakarta untuk Kamis malam, sehingga Jum'at pagi sudah sampai Jakarta (kami mendapat jadwal Jum'at 27 September jam 2 siang). Kamis siang selepas suami kuliah, kami langsung pulang ke Semarang, lalu suami ngajar sebentar (saya belanja dan jualan sebentar), lalu kami bertemu di kampus sekitar jam 6 sore, lalu makan malam dan bersiap ke stasiun Poncol. Kereta kami berangkat jam setengah 9 malam. Mobil ditinggal di kampus, kami naik taksi online ke stasiun, untung saya bawa baju lebih sejak berangkat dari Kendal ke Jogja silam, jadi lepas dari Jogja bisa langsung ke Jakarta tanpa mampir pulang Kendal terlebuh dahulu, hemat waktu.

Penampakan ketika saya berangkat ke Jakarta

Kami sampai Pasar Senen jam 3 dini hari. Seorang teman (Mas Budi) menanyakan akomodasi ketika kami tiba di Jakarta, yah, karena sampai Jakarta dini hari, mungkin beliau khawatir. Mas Budi pun menawarkan untuk menginap di tempatnya, kebetulan ada kamar kosong, jadi kami bisa beristirahat sejenak, mandi dan bersiap sebelum ke kantor VFS Global di Kuningan City Mall.

Jam 8 pagi kami berangkat ke kantor VFS Global, meski mendapat jadwal siang, yang penting sudah sampai sana. Setiba di kantor, saya mencari Mas Adit, orang yang harus saya temui ketika telpon sebelumnya. Alhamdulillah, kami boleh langsung masuk ke ruangan, mungkin karena yang seharusnya terjadwal belum datang, jadi kami boleh masuk dulu. Di dalam ruangan, satu persatu berkas kami diperiksa, tibalah pada surat akomodasi.

Yah, LoA kami ditolak, entah peraturan baru atau bagaimana, yang jelas surat tersebut tidak berlaku, tidak kuat. Kami diminta menyertakan surat bewjis, yaitu surat undangan yang diurus di kantor Gemeente Leiden. Atau jika menyewa, menyertakan surat bukti sewa. Alternatif lain, menyertakan bukti booking hotel. 

Waduhhhhh, mendadak pusing ini kepala. Saat itu jam 10 pagi (di Belanda sekitar jam 5, belum subuh) saya menghubungi istri PhD yang membuatkan LoA, karena sebelumnya sudah pernah bilang tidak bisa menyertakan surat dari Gemeente, maka saya meminta surat bukti sewa. Lama tak kunjung ada balasan, yahh, namanya juga selisih 5 jam, saya maklum saja, meski saya gelisah dan saya terus menelpon beliau. Disaat yang sama, suami berusaha booking hotel bia situs booking.com, namun kami terkendala disaat mencantumkan kartu kredit, selalu tidak bisa. Pun ketika meminjam kartu kredit saudara yang limitnya lebih besar dari kamipun, masih saja gagal.

Kami sudah hampir putus asa, lalu saya beranikan diri menghubungi teh Tuti, disaat sangat terdesak. Tanpa pesan, saya langsung menelpon beliau, mungkin kaget juga karena selama ini suami yang berkomunikasi dengan beliau. Sambil panik, saya menelpon Teh Tuti, menceritakan keadaan kami yang memerlukan surat bewjis tersebut dengan suara parau hampir menangis, yah, saya hopeless.

Teh tuti berusaha menenangkan saya, dan ternyata beliau paham dan sebelumnya sudah menawarkan kepengurusan surat tersebut pada suami, namun suami menolak. Yah, karena kami berfikir, kami sudah mendapat LoA dari tempat yang lain. Sayangnya, suami teh Tuti, Prof. Robert Coelen, sedang berada di Finlandia, sehingga tidak bisa mengurus surat tersebut pada hari Jumat itu.

Namun malamnya Robert pulang, sehingga Sabtu pagi beliau bisa ke kantor Gemeente. Alhamdulillaaaaaah, bak menemukan oase di tengah gurun, saya sangat bahagia, ada solusi, meski harus kehilangan €150 yang menurut saya sangat besar, hampir setara UMR Kota Semarang 😭😭😭.

Namun tak berselang lama, saya bahagia kembali, kakak saya yang super baik mengganti kerugian saya, agar saya tidak menangis katanya (Love you so much mommy vando 😘😘)

Setelah menelpon teh Tuti, saya kembali ke mas Adit, mengabarkan plan B. Lalu mas Adit bilang, iya ditunggu saja surat bewjis nya, kami reschedule apply visa pada Senin siang, dan mengganti jenis visa saya menjadi visa visiting family or friends.

Alhamdulillaaaah, di tengah kehimpitan, kami dikelilingi orang-orang baik. Selepas itu, kami pamit dengan Mas Adit dan makan siang di kawasan depan Kuningan City Mall. Waktu itu jam 2 siang, istri PhD baru membalas pesan saya, yang intinya tidak bisa membuatkan surat bewjis untuk kami, dan kemudian telpon menyarankan suami mengirim ulang surat ke Leiden University Libraries bahwa suami datang bersama saya dan agar bisa dimintakan surat di Gemeente. Entahlah, saya sudah tidak bisa mikir waktu itu, saya iyakan saja. Antara pusing dan lega, dan tentunya lapaarrrrrr. 

Jum'at sore kami naik kereta menuju Semarang, pasti bertanya-tanya, kenapa tidak menunggu saja di tempat saudara di Jakarta, daripada harus bolak balik Semarang-Jakarta. Pertama, kami tidak bawa baju lebih, kedua, suami masih ada tanggungan kerjaan yang harus diselesaikan, jadi kami putuskan pulang. Dini hari sampai Semarang lalu pulang Kendal subuh-subuh, teparr gaesss...
Hari Sabtu kami istirahat di rumah, sembari suami menyelesaikan kerjaannya. Sabtu siang teh Tuti mengabarkan bahwa Robert sudah selesai mengurus di Gemeente, lalu mengirim surat bewjis tersebut via email. Alhamdulillaahhhh, lega selega-leganyaaaa, tinggal mikir beli tiket Semarang-Jakarta PP lagiiii..

Hari Minggu, 29 September 2019 siang kami berangkat ke Jakarta, sampai Jakarta menginap di rumah sepupu suami di daerah Cibitung. Keesokan harinya berkereta ke daerah sekitar Kuningan City mall. Kami kembali menemui mas Adit, lalu diarahkan ke petugas pengecekan kembali. 

Alhamdulillaah, proses cepat, semua syarat sudah sesuai, diambil data biometrik pula. Senin sore selesai, kami mampir ke tempat teman, lalu malamnya berkerata kembali ke Semarang. What a day yahhhh, lelah, namun harus dijalani..

Selepas apply, kami harus menunggu visa dalam ketidakpastian. Ada kabar tiga hari visa sudah jadi, kabar lain bilang 2 minggu baru jadi. Alamaaakkkk, dag dig dug tiap hari, berharap visa kami berdua keluar, sehingga bisa ke Belanda berdua, sekalian honeymoon. Jumat siang ada email masuk di suami, pemberitahuan bahwa hasil visa sudah bisa diambil.

HASIL VISA, yang belum tau isinya acc atau refuse. Daan, sampai Jumat malam, tak ada email masuk di saya juga 😭😭😭.

Ya Allah panik, padahal kami apply bareng, kenapa punya saya belum, padahal sudah mepet sekali. Karena tak kunjung ada hasil, maju mundur nih mau ke Jakarta kapan. Apakah langsung aja (gambling), apakah menunggu punya saya bisa diambil sekalian. 

Akhirnya karena penasaran, maka diputuskan Senin ambil hasil visa ke Jakarta, dengan atau tanpa hasil visa saya. Perdebatan kembali terjadi, ketika saya bilang ke suami saya saja yang ke Jakarta sendiri, suami saya ke Jogja untuk kuliah, namun dia tidak mau. Tak tega katanya. Namun saya bilang, lebih tega lagi kalau sudah bayar kuliah mahal-mahal, ee bolas bolos, sedangkan jika visa acc, dia akan bolos kuliah 2 bulan. 

Akhirnya diputuskan saya sendiri yang ke Jakarta, pesan tiket kereta lagi, berangkat dari Semarang jam 6 pagi, lalu pulang dari Jakarta jam 6 sore, agar dia tenang karena saya tidak perlu menginap di Jakarta. Dia pun pagi berangkat ke Jogja, selepas kuliah langsung pulang Semarang, menunggu saya di stasiun. Yah, saya berangkat ke Jakarta gambling. 

Hari yang digelisahkan sampai juga, Senin pagi berangkat dengan penuh kecemasan, namun lagi-lagi saya beruntung, sekitar jam 11 siang saya cek ada email masuk, dari VFS ternyata, isinya pemberitahuan hasil visa saya sudah bisa diambil.

Ya Allah, entah bagaimana lagi saya harus bersyukur, berangkat gambling, di tengah jalan ada keputusan. Siang jam 12 saya sudah sampai Jakarta. Naik ojek online dari stasiun agar lebih cepat sampai kantor, jadwal pengambilan hasil visa mulai jam 2 siang. Saya gelisah, deg deg an, gemeteran, belum lagi suami kirim spam chat terus-terusan menanyakan hasil visa, begitupun teman dan saudara.

Apa mereka tidak membayangkan di posisi saya ya, kan saya juga sama deg-deg an, kenapa tidak sabar saja menunggu kabar, kenapa harus tanya terusan, agak kesal juga sih meski saya paham, mereka sama penasarannya dengan saya. Sementara saya abaikan semua pesan kecuali dari suami, yah, dia kena amukan 😁, saya bilang, kalau sudah dapat kabar pasti langsung saya kabarin, hehe.

Tibalah nomor antrian saya dipanggil, saya ke petugas yang kebetulan minggu sebelumnya mengurus persyaratan visa saya. Yah, kebetulan sekali. Lalu diberikanlah plastik segelan tersebut kepada saya, saya tanda tangan, dan diminta buka serta cek isinya dulu, jika ada yang salah bisa langsung dibetulkan.

Saya super deg-deg an, saya harap kalian bisa mengerti perasaan saya. Saya buka plastik segelan tersebut pelan-pelan, dengan tangan gemetar. Saya buka satu persatu halaman. Ya Allah, alhamdulillaaaah, kedua visa kami diacc. Pas 60 hari, tidak masalah, yang penting tidak kurang. Saya langsung mengabari suami, keluarga, dan teman. Berbondong-bondong ucapan selamat dan kelegaan, hal yang kami gelisahkan selama ini, hasil dari kelelahan kami, terbayar manis. Kemudian saya menemui mas Adit dan mengabarkan visa kami acc, lalu berterima kasih. Kalau mas Adit baca ini, thank you so much..

Visa kami berdua, pas 60 hari

Kemudian saya mengabari Teh Tuti selaku pihak yang sangat membantu kami, penyelamat, begitu kami menyebutnya. Bagaimana tidak? Tanpa surat sakti tersebut, besar kemungkinan visa kami tidak acc, dan kami tidak bisa berada di Leiden, Belanda. Terimakasih sekali, teh Tuti dan keluarga..

Sekian tulisan panjang kali lebar kali tinggi ini, semoga tidak bosan bacanya. Kesalahan saya cukup dijadikan pelajaran saja agar tidak terulang lagi (terutama yang mencari akomodasi dan dapat di kediaman PhD, sebaiknya jangan berikan DP dulu karena kita tidak tau visa diacc atau ditolak), dan semoga bisa menjadi pencerahan bagi kalian semua yang akan mengurus visa, terutama yang bingung mau pilih visa apa ketika hanya menemani pasangan Residensi, karena jujur saya mencari di Google tapi tidak nemu yang pas hehe.

Thank you, sampai jumpa di cerita lainnya yahh, babayyyy..
Salam dingin dari Leiden..

Komentar

  1. Selamat berdingin-dingin di Leiden, Beibeh

    BalasHapus
  2. Ya allah....salam hangat
    dr indonesia y paul & suami..sehat2 dsana, tak tunggu kbr bhagianya. Mg info @diksi.blogspot.com bermanfaat

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Diksicantik itu siapa?